Tertawa yang wajar itu laksana “balsam” bagi kegalauan dan “salep” bagi kesedihan. Pengaruhnya kuat sekali untuk membuat jiwa bergembira dan hati berbahagia. Dan Rasulullah S.A.W sendiri sesekali tertawa hingga tampak gerahamnya. Begitulah tertawanya orang yang berakal dan mengerti tentang penyakit jiwa dan pengobatannya.
Tertawa merupakan puncak kegembiraan, titik tertinggi keceriaan, dan ujung rasa suka cita. Namun, yang demikian itu adalah tertawa yang tidak berlebihan. Orang Arab senang memuji orang yang murah senyum dan selalu tampak ceria. Menurut mereka, perangai yang demikian itu merupakan pertanda kelapangan dada, kedermawaan sifat, kemurahan hati, kewibawaan perangai, dan ketanggapan pikiran.
Orang yang murah tersenyum dalam menjalani hidup ini bukan saja orang yang paling mampu membahagiakan diri sendiri, tetapi juga orang yang paling mampu berbuat, orang yang sanggup memikul tanggung jawab, orang yang paling tangguh menghadapi kesulitan dan memecahkan persoalan, serta orang yang paling dapat menciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Andai aku disuruh memilih antara harta yang banyak atau kedudukan yang tinggi dengan jiwa yang tenteram damai dan selalu tersenyum, pastilahaku memilih yang kedua. Sebab, apa artinya harta yang banyak bila wajah selalu cemberut? Apa artinya kedudukan bila jiwa selalu cemas? Apa artinya semua yang ada di dunia ini, bila perasaan selalu sedih? Apa arti kecantikan seorang isteri jika selalu cemberut dan hanya membuat rumah tangga menjadi neraka saja? Tentu saja, seorang isteri yang tidak terlalu cantik akan seribu kali lebih baik jika dapat menjadikan rumah tangga senantiasa laksana surga yang menyejukkan setiap saat.
Senyuman tidak ada harganya bila tidak terbit dari hati yang tulus dan tabiat dasar seorang manusia. Setiap bunga tersenyum, hutan tersenyum, sungai dan laut juga tersenyum. Langit, bintang gemintang dan burung-burung semuanya tersenyum. Dan manusia, sesuai watak dasarnya adalah makhluk yang suka tersenyum. Itu bila dirinya tidak bercokol penyakit tamak, jahat, dan egoisme yang selalu membuat rona wajah tampak selalu kusut dan cemberut. Adapun bila ketiga hal itu meliputi seseorang, niscaya ia akan menjelma menjadi manusia yang selalu mengingkari keindahan alam semesta. Artinya, orang yang selalu bermuram durja dan pekat jiwanya tak akan pernah melihat keindahan dunia ini sedikitpun. Ia juga tak akan mampu melihat hakekat atau kebenaran dikarenakan kotoran hatinya. Betapapun, setiap manusia akan melihat dunia ini melalui perbuatan, pikiran dan dorongan hidupnya. Yakni, bila amal perbuatannya baik, pikirannya bersih dan motivasi hidupnya suci, maka kacamata yang akan ia gunakan untuk melihat dunia ini pun akan bersih. Dan karena itu, ia akan melihat dunia ini tampak sangat indah mempesona. Namun, bila tidak demikian, maka kacamata yang akan ia gunakan melihat dunia ini adalah kacamata gelap yang membuat segala sesuatu di dunia ini tampak serba hitam dan pekat.
Tidak ada yang membuat jiwa dan wajah menjadi demikian muram selain keputusasaan. Maka, jika kamu menginginkan senyuman, tersenyumlah terlebih dahulu dan perangilah keputusasaan. Percayalah kesempatan itu selalu terbuka, kesuksesan selalu membuka pintunya untuk kamu dan untuk siapa saja. Karena itu, biasakan pikiranmu agar selalu menatap harapan dan kebaikan di masa yang akan datang.
Setiap melihat kesulitan, jiwa seseorang yang murah senyum justru akan menikmati kesulitan itu dengan memacu diri untuk mengalahkannya. Begitu ia memperlakukan suatu kesulitan, melihatnya lalu tersenyum, menyiasatinya lalu tersenyum, dan berusaha mengalahkannya lalu tersenyum. Berbeda dengan jiwa manusia yang selalu risau. Setiap kali menjumpai kesulitan, ia ingin segera meninggalkannya dan melihatnya sebagai sesuatu yang amat besar dan memberatkan dirinya. Dan itulah yang acapkali menyebabkan semangat seseorang menurun dan asanya berkurang.
Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan ini merupakan perkara yang nista. Yakni, segala sesuatu akan terasa sulit bagi jiwa yang kerdil, tapi bagi jiwa yang besar tidak ada istilah kesulitan besar. Jiwa yang besar akan semakin besar karena mampu mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Sementara jiwa yang kecil akan semakin sakit, karena selalu menghindar dari kesulitan itu. Kesulitan itu ibarat anjing yang menggigit, ia akan menggonggong dan mengejarmu bila kamu tampak ketakutan saat melihatnya. Sebaliknya ia akan membiarkan kamu berlalu di hadapannya dengan tenang bila kamu tak menghiraukannya, atau kamu berani memelototinya.
Orang berkata : Langit selalu berduka dan mendung
Tapi Aku berkata : Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana
Orang berkata : Masa muda telah berlalu dariku
Tapi Aku berkata : Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda takkan pernah mengembalikannya
Orang berkata : Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka. Janji-janji telah menghianatiku ketika kalbu telah menguasainya. Bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya.
Tapi Aku berkata : Tersenyum dan berdendanglah, kala engkau membandingkan semua, umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya.
Orang berkata : Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah.
Tapi Aku berkata : Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum.
Sungguh, kita sangat butuh pada senyuman, wajah yang selalu berseri, hati yang lapang, akhlak yang menawan, jiwa yang lembut, dan pembawaan yang tidak kasar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar